34 Jam Penuh Kelezatan Di Semarang

First of all, saya bukan seorang Food Blogger tapi kali ini saya merasa harus menulis tentang petualangan kuliner saya di Semarang. Ibukota Jawa Tengah itu ternyata menyimpan kelezatan - kelezatan tak terduga yang mampu memanjakan lidah, suatu hal yang tidak pernah saya ekspektasikan sebelumnya karena cuma tahu kalau kota ini terkenal dengan Lumpianya. Ini adalah cerita tentang perjalanan saya selama 34 jam di Kota Semarang akhir pekan kemarin, menghadiri pernikahan teman yang berbonus makanan - makanan yang menyenangkan.

Breakfast Is For Those Who Wake Early

Mungkin saya harus bersyukur karena tiket kereta Maharani untuk sabtu tanggal 17 Maret 2018 habis, karena saya kemudian memajukan jadwal keberangkatan jadi hari Jumat tanggal 16 Maret 2018 dengan menggunakan kereta Kertajaya. Setelah bercengkrama dengan hujan yang tak mau berhenti turun sejak sore saya memasuki kereta dengan badan yang kalau istilah Suroboyoannya "Kluncum". Sampai Semarang jam 01.20 pakaian saya sudah kering (ini penting!). Sebenarnya saat itu saya sudah mengincar untuk mencoba Nasi Ayam yang ada di seputaran Simpang Lima tapi saya urungkan dan akhirnya memilih untuk berdiam di stasiun sampai langit berganti warna.

Jam 06.00 saya memutuskan berjalan kaki dari stasiun menuju hotel tempat saya menginap, karena libur jalanan pagi itu cukup lengang dan saya bisa berjalan santai menelusuri tepian jalan tanpa trotoar hingga mencapai Jalan MT. Haryono, disitu saya menemukan kelezatan pertama saya.

Nasi Pecel Yu Saji

sumber foto : id.openrice.com
Lokasinya tidak jauh dari Klenteng Grajen, hanya beberapa langkah saja. Perut yang tidak bisa diajak berkompromi akhirnya membuat saya mampir ke warung pecel yang cukup ramai dengan pengunjung itu. Layaknya nasi pecel di kota lain kombinasi sayur dan bumbu kacang menjadi andalan. Di warung ini sayurnya dilengkapi dengan Kembang Turi dan ukuran kecambahnya lebih besar daripada yang saya biasa makan di Surabaya. Bumbu pecelnya juga lebih pedas dan kuat rasanya, agak mirip dengan bumbu kacang pecel Blitar.

Saya selalu memilih lauk yang tidak biasa untuk pecel yang saya makan. Secara umum akan ada ayam goreng, telur dadar/ceplok, tahu tempe goreng. Nah di Warung Pecel ini saya memilih Sate Keong, Dadar Jagung & Bantal sebagai lauk. Bantal sendiri adalah martabak telur yang digoreng basah, persis seperti martabak telur yang bisa kita temukan di kantin - kantin sekolah.

Cukup dengan Rp. 16000  (+ Rp. 2000 untuk segelas teh hangat) pecel ini bisa jadi pilihan untuk sarapan yang baik. Setelah duduk sejenak untuk membiarkan perut mengolah makanan yang masuk saya melanjutkan jalan kaki saya menuju hotel dan sekitar 500 meter kemudian menemukan kelezatan kedua.

Mie Kota Kembang



Berjalan kaki selama 5 menit ternyata sudah cukup untuk membuat saya belok masuk ke Depot Mie yang baru buka itu. Saya memasan seporsi mie dan "terpaksa" harus menunggu 30 menit karena kuahnya belum panas hehehe.. Yasudahlah toh jadi ada cukup waktu perut membuka ruang bagi kehadiran seporsi kelezatan lain.

Mie yang disajikan cukup unik, teksturnya lebih kasar, lengket dan bentuknya mirip mie kriting. Bentuk paling mirip mungkin pangsit mie yang biasa kita temui di Jakarta. Saking lengketnya memang harus diberi kuah agar bisa dinikmati. Potongan daging ayamnya cukup memuaskan dan sawinya juga tidak berlebihan. Rasa kuah lebih kuat dari kuah mie pangsit/ayam pada umumnya.

Disini saya menghabiskan Rp. 19000 (sudah termasuk segelas teh hangat) dan kemudian memutuskan bahwa cukup deh makan pagi ini. Saya mencapai hotel jam 08.00 dan masih banyak waktu sebelum diperbolehkan check in, jadilah saya kembali berjalan kaki menuju area Simpang Lima. Karena tidak menemukan apapun disana saya iseng menggunakan Bis Trans Semarang untuk berkeliling kota dan setelah berputar - putar saya pun berhenti di Paragon Mall untuk membuang waktu dan menikmati seporsi Es Teler 77 sebagai pembuka untuk makan siang saya yaitu

Lumpia Gang Lombok


Karena perut yang masih cukup penuh saya memutuskan untuk makan siang yang enteng - enteng saja, Lumpia menjadi pilihan. Setelah mengandalkan review dari google dan tripadvisor akhirnya saya memutuskan untuk menuju Gang Lombok yang ada di kawasan Pecinan Semarang. Menuju tempat itu dengan becak saya melalui Pasar Semawis dimana tenda - tenda sudah berdiri sejak Jumat karena memang ada semacam festival kuliner setiap malam di akhir pekan disana. Sejujurnya bangunan - bangunan di jalanan di area ini entah kenapa mengingatkan saya pada film The Raid :)) semacam ada khayalan jika mungkin suatu saat nanti bisa terjadi pertarungan antar gangster disitu.

Aaanywaay, Lumpia Gang Lombok tidak sulit ditemukan dan lokasinya di pinggir sungai. Saat sampai disana meja sudah terisi penuh oleh orang - orang yang sedang menikmati lumpia. Saya menunggu sejenak untuk kemudian mendapatkan tempat duduk. Lumpia Basah menjadi pilihan saya untuk dinikmati, dan jawaban yang saya dengarkan dari pelayan sungguh mencengangkan "Mas nunggu 1 jam ya". Pasrah saja  saya memilih menunggu dan Lumpia tersaji 10 menit kemudian, mungkin karena masnya nggak tega lihat muka saya yang kumus - kumus atau mungkin khawatir saya ngamuk karena kelaperan.

Isian Lumpianya adalah potongan sayur dan rebung, disajikan bersama saus yang bentuknya mirip papeda + sepiring penuh cabe, daun bawang dan selada. Cukup untuk mengganjal perut dengan harga seporsinya Rp. 15000. Petualangan kuliner pun saya hentikan karena malam harinya saya harus menikmati sajian catering di pernikahan teman dimana saya menyukai Tengklengnya :)).  Dari resepsi saya langsung bergegas menuju lokasi pencuci mulut terbaik

Es Cong Lik



Tidak jauh dari Simpang Lima, Warung Es Putar Cong Lik yang buka sore hari itu tidak terlalu ramai saat saya sampai disana, pengaruh hujan yang belum reda mungkin. Es Kelapa Muda - Cokelat dan Apukat jadi pilihan saya untuk menetralisir kelezatan tengkleng yang 20 menit sebelumnya baru saya nikmati.

Hal terbaik dari es ini adalah bagaimana rasa dari buah yang menjadi bahan es putar sangat terasa khususnya yang apukat. Dengan harga per porsi Rp. 15000an, es putar ini adalah jajanan terbaik untuk mencuci mulut setelah menikmati hidangan - hidangan berat seperti

Nasi Ayam Bu Widodo

Sumber foto : travel.kompas.com

Saat saya pikir untuk mengakhiri kegiatan makan saat berjalan pulang saya menemukan warung lesehan Nasi Ayam/Liwet Bu Widodo di pojokan dekat pujasera yang ada di depan sebuah mall di kawasan Simpang Lima. Setelah sempat ragu, akhirnya saya memutuskan untuk memesan seporsi nasi ayam (iya setelah meyakinkan diri bahwa perut saya masih mampu menampung seporsi lagi makanan).

Kali ini ekspektasi saya mungkin ketinggian (atau mungkin saya yang sudah kekenyangan?). Nasi yang disajikan adalah nasi liwet ditambah potongan ayam sotoan yang di goreng (ayam yang dipakai untuk soto). Tidak cukup menjawab ekspektasi saya tapi cukup untuk meyakinkan saya bahwa petualangan kuliner saya harus diakhiri. Dan tersisa 1 kuliner lagi yang harus saya nikmati sebelum saya pulang yaitu

Nasi Koyor Makmi

Source foto : youtube.com

Setelah sarapan yang ala kadarnya di hotel, pagi itu saya habiskan gegoleran di kasur hingga jam pulang tiba karena CFD Simpang Lima ditiadakan.  Jam 10.00 saya check out dari hotel, memesan taksi dan menuju satu Warung Nasi Koyor Makmi. Setelah terjebak macet yang menurut sang sopir taksi diakibatkan kebijakan jalur satu arah yang malah bikin kepadatan di jalan, saya sampai di warung yang ada di kawasan Lawang Sewu itu tepat jam 11.00 (40 menit untuk 4 km, luar biasa kan?)

Koyor sendiri adalah urat sapi. Warung cukup sepi karena memang waktu makan siang belum tiba, saya bisa dengan cepat memesan 2 bungkus Nasi Koyor yang terdiri atas Koyor & Daging Sapi, Serundeng, Mie, sayur kacang panjang dan kuah pedas. Melihat deretan lauk yang tersaji saja sudah memanjakan mata. Sang pemilik warung pun memberi bonus 3 kepiting soka goreng, katanya supaya saya balik lagi.

Dan Nasi Koyor ini menjadi penutup yang menyenangkan, saya menikmatinya di kereta sepanjang perjalanan dari Stasiun Poncol ke Stasiun Tawang. Rp. 50000,- yang saya keluarkan untuk 2 porsi bisa saya sebut sebagai pengeluaran terbaik saya untuk kulineran di Semarang.

34 Jam, 6 Kuliner penuh kelezatan. Saya pun pulang menuju Surabaya dengan hati riang gembira~


Comments

Post a Comment

Popular Posts